Terjepit Di Bawah Penjajahan Gaya Baru
UTANG luar negeri Indonesia makin membengkak. Pembengkakan utang itu tidak saja dilihat sebagai peng-hambat proses kemandirian eko-nomi nasional, tapi sudah menjelma sebagai monster pemicu ambruk-nya kesejahteraan rakyat dan kian parahnya kesenjangan sosial. Kenyataan ini, oleh M. Danial Nafis, direktur INSIDe (Institut for National Strategic Interest and Development) dilihat sebagai bentuk penjajahan gaya baru atas Indonesia. Berikut petikan wawan-caranya.Bagaimana Anda melihat fakta utang luar negeri Indonesia yang kian membengkak?
Itu bagian dari bentuk proses penjajahan gaya baru. Sebab lem-baga internasional seperti IMF, Bank Dunia, dll, juga lembaga pada ting-katan regional, mendorong negara-negara berkembang agar memiliki ketergantungan pada negara-ne-gara maju. Instrumennya, negara-negara maju menggunakan utang luar negeri. Itu bagian dari upaya penguasaan sumber daya pada negara-negara yang berpotensi memiliki sumber daya alam yang besar, seperti Indonesia.
Katakanlah untuk mendorong pembangunan infrastruktur besar-besaran di Indonesia, maka ber-utanglah ke luar negeri. Ketika berutang, yang di satu sisi untuk pembangunan tadi, tapi justru saat yang sama terjebak. Indonesia jadinya terjebak ke dalam lilitan utang luar negeri dan pembangu-nan semu. Dengan diberi utang, ada kompensasi yang didapatkan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional atau negara-negara rentenir berupa konsensus-kon-sensus pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Kita lihat Konoko Philips, Freeport, dll merupakan bagian skenario besar dari rentetan indikasi-indikasi utang luar negeri tadi.
Kita lihat, negara-negara seperti China, Uni Eropa, Jepang tidak pu-nya resources. Mereka menawar-kan utang ke Indonesia, tapi konsensusnya kan, seperti minyak, batu bara, dan jenis tambang lain-nya kita berikan ke mereka. Itu ter-jadi sudah sejak tahun 1967 atau pascakejatuhan Soekarno. Penje-bakan-penjebakan terus yang terjadi.
Anda sering menamakan itu “utang najis”, artinya apa?
Karena pemberian utang luar ne-geri yang seharusnya untuk infra-struktur pembangunan, yang dalam prosesnya sendiri sudah sarat dengan kondisionalitas dari pihak-pihak peminjaman uang, seperti kreditor atau negara-negara ren-tenir tadi, malah dikorupsi oleh rezim yang berkuasa. Penguasa yang mengorupsi uangnya, rakyat disuruh bayar. Bagaimana itu bisa terjadi. Jadi utang najis itu adalah utang luar negeri yang tidak dirasa-kan oleh rakyat tapi disuruh bayar oleh rakyat. Utang yang tidak dimanfaatkan untuk pembangunan bagi masyarakat umum tapi dikorupsi penguasa.
Rezim penguasa yang mana itu?
Setiap rezim penguasa di negeri ini pasca-Soekarno berpotensi me-mainkan utang-utang luar negeri. Uang itu mereka gunakan sebagai alat penjaga kekeuasaan mereka. Contohnya, tahun 2010 ini utang Indonesia sudah Rp 1.600 triliun. Dan hampir tiap tahun minimal 20% APBN kita disedot untuk membayar utang itu. Belum lagi terbebani oleh misalnya rekapitulasi perbankan seperti BLBI yang ditanggung oleh rakyat. Awal tahun ini saja (masih Januari) kita sudah memiliki utang hampir Rp 100 triliun lebih.
Mengapa Indonesia sulit keluar dari utang itu?
Itu kan alat jebakan atau jeratan neokolonialisme imperialisme penja-jahan gaya baru. Penjajahan gaya lama kan menduduki sebuah ne-gara. Kini penjajahan gaya baru neokolonialisme imperialisme—yang bahasa daulat pasarnya dikenal istilah neoliberalisme (mengguna-kan sistematika pasar, alasan pasar, alasan liberalisasi segala sektor untuk penguasaan sebuah negara tanpa dilakukan secara fisik).
Pemerintah sadar atau tidak jebakan itu serta ketidak-jelasan alokasi uang itu?
Mereka sadar tapi melanjut-kan berutang. Utang dari luar ne-geri itu kan tidak hanya diso-dorkan dari lembaga-lembaga internasional, tapi juga butuh se-buah jaringan epistemis neoli-beral. Kalau orang bilang itu Mafia Barkley. Jadi, di satu sisi, dari luar negeri itu akan ada pasokan-pasokan utang, tapi di sisi lain, di dalam negeri ada kompa-ratur orang-orang yang merela-kan kepalanya menjadi budak-budak dari kekuatan asing untuk terus memuluskan paket-paket kebijakan utang dan paket-paket kebijakan liberalisasi segala sektor di Indonesia ini.
Sebegitu rumitkah mem-bebaskan diri dari utang luar negeri itu?
Bukan sulit. Yang penting ada kemauan menjadi negara yang merdeka 100%. Ukuran kemer-dekaan itu kan terletak pada tiga hal: berdaulat di dalam politik, mandiri di dalam ekonomi, dan berkepribadian di dalam budaya. Bila itu terjadi, suatu saat kita bukan hanya bebas dari utang tapi justru menjadi negara pem-beri utang. Sumber alam negeri kita kan luar biasa. Hanya saja, sejauh ini, pemerintah tidak me-nunjukan tata kelola yang benar.
Ada tawaran solusi yang tepat?
Pertama, mindset pemegang kebijakan harus kembali kepada ekonomi Pancasila sesuai pasal 33 UUD 45. Hingga hari ini, pasal 33 itu hanya stempel belaka, tidak dilaksanakan. Jika merunut pada ideologi demokrasi ekonomi kita kan berwatak kerakyatan. Itu artinya demokrasi kekeluargaan. Tidak merampok satu sama lainnya. Tidak semata optimalisasi profit, tapi ada sebuah proses bagaimana kemudian masyarakat (rakyat), diakomodir. Hari ini, yang berkembang dalam sistem ekonomi kita itu adalah yang kuat makan yang lemah.
Kedua, keberanian dalam me-ngambil kebijkan yang pro rakyat banyak. Bukan rakyat kelas elit yang hanya menguasai kekayaan dalam negeri tetapi rakyat ba-nyak. Artinya, kita bisa bebas dari utang luar negeri kalau saja terjadi keberpihakan pada rakyat ba-nyak. Karena selama utang luar negeri itu dijadikan salah satu pe-nopang pembangunan, maka selamanya Indonesia akan terjebak.
Thursday, April 15th, 2010 | Posted by Dinul Husnan
Sumber: http://www.majalah-koperasi.com/m-danial-nafis-terjepit-di-bawah-penjajahan-gaya-baru/
0 komentar:
Posting Komentar