TRIAS POLITICAL 'ZAKAT'
Ada hal menarik dengan digelarnya Konferensi Zakat Asia Tenggara di kota Padang, 31 oktober hingga 3 November 2007. Konferensi ini merupakan lanjutan dari acara serupa yang digelar di Kuala Lumpur Mei 2006. Hal pertama yang menarik, ini tak lain merupakan pertemuan politik. Internasional lagi. Yang kedua, konferensi ini tengah membicarakan bagaimana meningkatkan profesionalisme zakat. Yang ujung-ujungnya tentu untuk fakir miskin.Keempat yang tak kalah menariknya, Pemkot Padang jadi tuan rumah. Sementara yang lain lebih tertarik mengundang para pebisnis, Pemkot Padang malah ingin urus fakir miskin lebih serius. Ini sebuah terobosan politik, yang tentu tak mudah menggiringnya. Tinggal sekarang bagaimana tim di belakang layar, harus mampu menyiasahi agar konferensi ini tak jadi liar. Harus ada sesuatu, agar pengelolaan zakat Indonesia tentu lebih terarah ke depannya.
Politik mengenal tiga ranah. Pertama politik praktis. Kedua high politic. Serta ketiga hidden politic. Politik yang sehat meramu ketiganya. Tujuannya demi negara. Seseorang yang sukses, jadi pahlawan negerinya. Tapi di negara lain, bisa jadi dia dianggap monster paling dibenci. Itulah politik bernegara. Ketiganya tentu dikenal para praktisi partai di Indonesia. Namun prakteknya, politisi kita lebih suka hidden politic. Sayang hidden-nya untuk pribadi, kelompok atau cuma untuk partainya. Karena untuk bangsa hanya jargon kosong, high politic pun jadi mati suri. Kisruh di partai dan kecewa, solusinya buat partai perjuangan. Bagi yang belum berpartai, strateginya tak beda. Selalu saja cuatkan partai baru. Bicaranya sih untuk negara, Tapi hidden-nya selalu berakhir di pribadi dan kelompok.
Imbasnya, akhirnya juga melesak ke zakat. Bicara zakat, memang tak lepas dari politik. Sebab seperti yang sebagian ulama katakan, zakat merupakan keputusan politik paling penting dalam Islam. Kata paling penting mengacu pada tiga hal. Yang pertama zakat bukan hanya sekadar wajib. Karena yang kedua, zakat merupakan satu-satunya ibadah berdimensi ganda: vertikal dan horizontal. Karena itu yang ketiga, zakat pun dijadikan Rukun Islam. Pertanyaannya, mengapa zakat yang jadi Rukun Islam? Mengapa bukan bank dan mengapa bukan asuransi. Bukankah zakat hanya sekadar untuk fakir miskin. Mengapa kalangan marginal ini yang harus diperhatikan. Inilah substansi ‘Politik Zakat’ yang menjungkirkan logika berpikir manusia.
Politik Praktis
Untuk menjawabnya, tiga ranah politik di atas bisa dijadikan pembedah. Ditinjau dari politik praktis, tujuan zakat memang jangka pendek. Besarnya yang cuma 2.5% langsung ditujukan pada fakir miskin. Karena diwajibkan, semangat zakat pun diterapkan di semua denda. Kedudukan denda jadi wajib, karena memang ada pelanggaran. Seperti dam haji atau kafarat, pasti ditujukan untuk fakir miskin.
Kendati jangka pendek, tujuan zakat tak berhenti dipemenuhan kebutuhan semata. Ada tujuan mulya. Yang seperti ditegaskan Ibnu Taimiyah, penuhi kebutuhan agar mereka bisa beribadah normal seperti muzaki. Dalam ibadah, Islam memang tak memaksa. Tapi sebagai sesama muslim, saling ingatkan wajib hukumnya. Dan jangan pernah percaya, bahwa si miskin lebih soleh ketimbang si kaya. Soleh tidaknya seseorang, bukan ditentukan kaya miskinnya.
Tujuan agar fakir miskin bisa ibadah normal, tersiratnya ada ancaman bagi si kaya. Artinya keleluasaan beribadah, harus juga diberikan pada tetangganya yang tengah kesulitan. Maka jangan masuk surga sendirian. Dengan zakat, masukilah surga ramai-ramai.
High Politic
Dikaji dari sisi high politic, pesan zakat lebih kuat ketimbang pajak. Dengan zakat, pemerintah diajari membangun bangsa. Zakat diprioritaskan khusus untuk mustahik. Kendati luas, pengertian mustahik disederhanakan sebagai kalangan mustadh’afin. Pemerintah diajari, untuk perhatikan mereka. Bukan tergiur pada yang kaya atau punya kedudukan. Strategi trickle-down effect terbukti gagal total. Strategi itu disiasahi jadi trickle-up effect, yang kekayaan para konglomerat makin menjadi-jadi sekarang ini. Harusnya pemerintah mencegah kebablasan seperti itu.
Orang kaya memang tak harus sekaya konglomerat. Yang pasti mereka sudah mampu atasi diri sendiri. Lihat saja perbankan dan asuransi. Bukankah itu dibuat untuk pertahankan comfort zone mereka. Islam memang ajaran sempurna. Tentu tak adil jika Islam tetapkan bank dan asuransi jadi salah satu pilar Rukun Islam. Jika itu terjadi, maka uang akan berputar di antara orang kaya yang itu-itu juga. Dengan zakat, semangat itu diredam. Dengan zakat, ketamakan manusia digugat.
Dalam postulat manajemen, kekuatan organisasi terletak di simpul terlemah. Dengan temukan dan benahi yang lemah, lembaga manapun akan jadi kuat. Dengan benahi yang miskin, negara akan tumbuh realistis jadi kuat. Jumlah 120 juta orang miskin bukan simpul namanya. Itu ceruk kelemahan yang menganga lebar, yang siap membetot siapapun untuk jadi miskin. Yang bisa cegah, hanya pemerintah. Karena bicara kebijakan, itulah ranah high politic yang jadi hak penuh pemerintah.
Hidden Politic
Zakat ternyata punya hidden politic. Dalam istilah lain itulah hidden agenda. Untuk yang wajib, seperti shalat hanya lima waktu. Puasa yang wajib pun hanya di Ramadhan. Yang sunah, tak terhingga bilangannya. Islam memang luar biasa. Yang wajib, selalu sedikit jumlahnya. Zakat pun kan cuma 2.5%. Selebihnya yang 97.5%, suatu angka yang konteksnya boleh tak terhingga. Kekuatan bilangan tanpa batas ini tampak maknanya bila disingkap dari istilah zakat.
Kata lain zakat adalah sedekah. Sedekah terbagi dua. Ada materi serta ada yang tak berwujud. Yang awam melihat, materi punya peran lebih. Bagi mereka, dengan tunaikan zakat 2.5% selesailah tugas Rukun Islam ke-3. Padahal jika dikaitkan dengan kandungan kalifah fil’ard, ternyata 2.5% itu tak cukup. Tiap orang akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Pemimpin bukan hanya para pejabat atau direktur saja. Pemimpin adalah minimal dia memimpin dirinya sendiri. Membawa diri sebagai pemimpin, artinya dia harus bisa memberi kebaikan dan kenyamanan bagi lingkungannya.
Maka sebagai muzaki, SBY sudah keluarkan sedekahnya zakat yang 2.5%. Sebagai presiden, apa sedekah SBY? Begitu juga dengan para pemimpin yang lain. Sebagai muzaki, mereka sudah keluarkan sedekahnya dalam bentuk zakat. Namun sebagai pemimpin, apa yang sudah mereka berikan. Sedekahnya para pemimpin, yang utama bukan zakat 2.5%. Sedekah terbesar para pemimpin adalah kebijakan.
Hidden agenda zakat memang mulya. Sedekah pemimpin tak lain membangun kehidupan dan peradaban. Di antara peradaban itu ada zakat 2.5%. Itulah yang khusus untuk perutnya para fakir miskin. Trias Political Zakat, hanya bisa diramu dan dikendalikan pemerintah. Pemkot Padang sudah memulai dengan cita-cita jadi the best practice zakat. Lantas, bagaimana dengan pemerintah pusat?
DIPOSTING OLEH Erie Sudewo PADA 10 June 2009
Sumber: http://eriesudewo.niriah.com/2009/06/trias-political-%E2%80%98zakat%E2%80%99/